Malala profile icon
Kim cươngKim cương

Malala, Indonesia

Kontributor
Bài đăng(39)
Trả lời(181)
Bài viết(0)

#Sharing #Kejang

Ketika Ilmu dan Informasi Menjadi Pembeda Jika ada yg bertanya apakah penyesalan terbesar saya dalam hidup, maka saya akan menjawab : ketidaktahuan saya bahwa suami saya pernah mengalami kejang demam saat masih batita. Karena ketidaktahuan itu membuat saya tidak waspada. Hari itu saya tidak ke kantor, mengambil hak cuti utk beristirahat karena kram haid. Disinilah cerita bermula... Saat itu, Nada (1,5th) sedang tidur siang. Saya raba kulitnya sedikit hangat, mungkin hanya sekitar 37 saja suhunya. Tidak tega membangunkan, saya berpikir nanti saja minum paracetamolnya kalau Nada sudah bangun. Toh belum tergolong demam, hanya anyep saja. Ifan (saat itu baru 5,5th usianya) masuk ke kamar saya, minta ditemani main komputer. Saya pun menemaninya bermain. Lalu setelah selesai, Ifan meminta saya menemaninya tidur siang di kamarnya. Saya bilang, "Sebentar ya, bunda cek adek Nada dulu." Begitu masuk kamar, terlihat pemandangan Nada di tempat tidur, sudah dalam keadaan kejang2. Saya berlari ke tempat tidurnya, meraup tubuh mungilnya dan berteriak memanggil para pengasuh yg sedang beristirahat di kamar mereka di lt 2. "Lia, Enah, turun! Nada kejang!" Terdengar suara gedabrukan di tangga saat mereka berdua berlari turun, saya membuka baju Nada dan menggantinya dgn baju yg lebih tipis. "Ya Allah, Nada! Kenapa???" Lia, pengasuh Nada sejak lahir langsung panik, menangis, menjerit. "Diam! Berhenti nangis. Kalau kamu panik malah nggak bisa mikir!" bentak saya. "Kemasi baju Nada utk beberapa hari, kemungkinan Nada harus di opname di rumah sakit!" perintah saya kepada Lia. "Enah, ambil taksi di MTA!" perintah secara otomatis keluar dari mulut saya. Lalu, saya terdiam sejenak, mengingat saat itu jam 12 siang, jam macet di area tempat tinggal kami karena jam makan siang karyawan kantor. "Enah, jangan taksi, panggil Pak Min aja, bilang segera, bunda mau ke RS Harapan Kita!" saya meralat perintah sebelumnya. Pak Min, adalah ojek langganan yg mengantar Ifan ke sekolahnya di TK Mutiara Indonesia. Saat itu belum ada transportasi online, dan suami saya pun masih kerja kantoran. Enah bergegas memanggil Pak Min. Lia sudah selesai mengemasi baju Nada. "Ambil sendok, bungkus pakai sapu tangan handuk!" perintah saya berikutnya. Pak Min datang. Saya menggendong Nada yg kejang, menyelipkan sendok di mulutnya agar lidahnya tidak tergigit, lalu kembali memberi perintah, "Enah panggil ojek satu lagi, Lia naik ojek ke RS Harapan Kita, bawa tas baju Nada, susul saya di UGD." Dan saya pun berangkat... Di jalan, saya menelpon dr. Ferdi Harahap, dokter Nada sejak lahir. "Dok, Nada kejang, saya otw ke Harkit!" "Bawa ke UGD, saya koordinasi dari sini!" ternyata dokter Ferdi sedang di luar kota... Perawat dan Dokter di UGD bergerak cepat dan efisien. Satu perawat mengambil Nada dari saya, dibuka seluruh bajunya, sementara perawat yg lain membasahi bedong bayi dgn air panas dan diperas. Lalu bedong itu di usapkan sekaligus ke tubuh Nada yg bagai terbakar sementara perawat yg memegang Nada sambil mengipasi. Nyaris saya bisa melihat uap dari tubuhnya saat perawat mengulang tindakan tsb beberapa kali. Obat anti kejang pun dimasukkan lewat anus. Tapi kejangnya tak kunjung berhenti. Saya menatap tempat tidur Nada dgn nanar... dan baru teringat bahwa saya belum mengabari suami 🤦‍♀️. Saya menelepon HP suami. "Ayah di kantor?" suara saya tercekat saat saya mendengar suara suami. "Iya bun, kenapa?" suara suami terdengar langsung waspada. Mungkin karena nada suara saya yg tidak seperti biasanya. "Ayah bisa segera ke UGD Harkit?" "Siapa?" suara suami meninggi. "Nada kejang yah, sekarang lagi ditangani dokter..." akhirnya tangis saya pecah... Nada di opname. Ditangani oleh dokter ahli syaraf anak, yg sayangnya tidak komunikatif, tidak seperti dokter Ferdi yg biasa menangani Nada, yg selalu memberikan informasi lengkap sebagai dasar kami bertindak. Tanpa menjawab pertanyaan saya saat visite dokter apa diagnosa beliau atas kondisi Nada, beliau hanya berkata yg penting Nada harus dijaga jangan sampai kejang dalam 1th ini. Saya frustrasi, tapi mau ganti dokter nggak berani karena kondisi Nada yg masih rawan. Ibu mertua saya setia menemani kami di RS. Lalu tiba2, seolah baru teringat, beliau berkata ringan, "Nada kayak ayahnya. Dulu ayahnya juga pernah kejang waktu kecil." What??? Seketika saya menoleh menatap suami, yg wajahnya terlihat bingung. Ternyata, suami pun tidak tau riwayat ini. Dalam keadaan emosi, saya bertanya, "Kenapa emak nggak pernah bilang kalo bang Nja pernah kejang?" "Emak juga baru ingat. Memangnya kenapa?" balas ibu mertua saya dgn raut wajah bingung. "Kenapa???!!! Kejang itu menurun, Mak! Seandainya Yeni tau Bang Nja pernah kejang, Yeni nggak akan menunda ngasih Nada paracetamol, mungkin Nada nggak akan sampai kejang seperti sekarang!" "Emak nggak tau..." kata ibu mertua saya pelan. Saya menutup wajah dgn kedua tangan saya, menarik nafas, menghimpun kesabaran. Qadarullah. Saya harus bisa memaafkan ibu mertua saya yg karena kurangnya ilmu jadi nggak paham bahwa kejang pun bisa menurun. Terutama, saya harus bisa memaafkan diri sendiri, yg karena kurangnya informasi menjadi tidak waspada sehingga menunda memberi obat penurun panas. Siapa sangka dalam waktu 1 jam saja suhu tubuh Nada meningkat dari 37 menjadi 40? Qadarullah... Hari ketiga di opname, pagi2 Nada batuk sampai muntah. Ada cairan berwarna coklat di muntahannya. Saya menangkap reaksi perawat yg mendadak terlihat waspada. Muntahan Nada diambil untuk di periksa. Menjelang sore, sudut mata Nada yg sebelah kanan seperti bergetar, hanya sudut mata saja. Saya raba kulitnya. Dingin, tidak demam. "Panggil suster!" teriak saya pada suami yg sepanjang hari menemani. Sambil memencet tombol, suami bertanya, "Kenapa?" "Nada kejang," sahut saya singkat. "Mana? Nggak kog?" dengan bingung suami saya melihat tubuh Nada baik2 saja. Perawat masuk, membuat saya terhindar dari menjelaskan pada suami. "Sus, mata Nada. Twiching." lapor saya singkat. Dan kehebohan pun terjadi... Perawat berhamburan masuk. Dokter jaga datang. Tempat tidur Nada lalu didorong masuk ke ICU... Malam itu, setelah lama menunggu, dokter jaga ICU menemui kami. "Bapak, Ibu, kejang Nada tidak berhenti dgn obat biasa. Kami akhirnya menggunakan morfin. Efeknya, kejang berhenti, tapi saat ini Nada tidur dalam..." "Koma?" sela saya. "Belum bisa dipastikan. Kita tunggu besok pagi, nanti Bapak Ibu akan kami kabari lagi." Waktu di opname di ruang perawatan, yg menginap di RS utk menjaga Nada adalah saya dan Lia. Suami saya ikut menemani sepanjang siang, lalu pulang malam hari utk menemani Ifan. Papa dan Ibu saya datang dari Lembang. Kini di ICU, saya dan suami bersama2 menginap. Ifan kami titipkan pada Papa dan Ibu. Hari kedua di ICU, kami dipanggil masuk. Dan air mata kami mengalir deras melihat tubuh mungil Nada yg tak bergerak penuh kabel2 pemantau. Ventilator pun terpasang karena paru2nya kehilangan fungsi. Di depan putri kami, berdiri dokter spesialis syaraf anak yg merawat Nada sejak lepas dari UGD, dan dia berkata... "Putri bapak dan ibu, terkena Radang Otak. Saat ini statusnya koma, MBO." "MBO?" ulang saya setelah tertegun. "Mati Batang Otak. Artinya, tidak ada harapan untuk hidup." Kemarahan saya mulai naik karena kurangnya empati sang dokter dalam menyampaikan. "Radang Otak apa? Meningitis? Ensefalitis?" cecar saya. Raut wajah sang dokter terlihat agak terkejut. "Ensefalitis," jawabnya singkat. Ya Allah, radang batang otak, dimana yg terganggu adalah fungsi2 alat vital bukan sekadar alat gerak... Saya dan suami menangis berpelukan. Tiba2, serombongan dokter ICU datang menghampiri kami, dan bertanya... "Ibu, sudah disampaikan kondisi putrinya ya tadi sama dokter... kami perlu bertanya apakah mau mengambil pengobatan minimal atau pengobatan maksimal?" Saya tertegun, dan kemarahan yg tadi sudah mereda kembali naik, tapi berusaha saya tekan. "Pengobatan minimal itu seperti apa? Pengobatan maksimal itu seperti apa?" "Pengobatan minimal itu berarti yg diberikan makanan cair dan obat2 yg fungsinya hanya utk bertahan hidup. Kalau pengobatan maksimal itu diberikan obat2an yg berfungsi utk memperjuangkan hidup." Seketika, saya membuka mulut, tapi... "Si lakan ibu diskusikan dulu dgn keluarga," potong dokter tsb. "Baik dok. Tapi sampai kami memberikan keputusan nanti, berikan yg terbaik dulu utk putri saya," tandas saya sambil menatap tajam sang dokter. Saya memahami, bahwa penawaran utk memilih ini kaitannya adalah karena kondisi Nada. Radang Batang Otak. Koma. Mati Batang Otak. Maka kami pun harus berdiskusi utk menentukan keputusan... "Menurut ayah gimana? Bunda baru mau diskusi dgn keluarga besar setelah kita satu keputusan dulu. Mengambil perawatan minimal hanya karena menganggap Nada udah nggak punya harapan hidup, bagi bunda seperti kurang ikhtiar. Apalagi secara keuangan saat ini kita mampu membiayai. Tapi, mengambil perawatan maksimal, jika kemudian membuat Nada sadar, dia akan terbangun dalam kondisi cacat dan tergantung alat, bisa jadi ketergantungan akan alat ini terjadi seumur hidup. Maaf yah, tapi bunda perlu bertanya. Apakah ayah bisa tetap menyayangi Nada jika dia cacat? Kalau bunda, bunda yg mengandung dan melahirkan Nada, rasa sayang bunda nggak akan sirna." Saya bertanya karena memahami bahwa orangtua bisa begitu karena rasa sedih dan frustrasi mengurus anak yg cacat. "Nada anak ayah, Bun, apapun kondisinya, ayah sayang Nada..." jawab suami tegas. "Kalau begitu ayah setuju kita ambil perawatan maksimal?" "Setuju." Maka suami saya menjadi juru bicara, membuka diskusi bersama keluarga besar yg saat itu hadir. Papa dan Ibu saya, ayah dan emak mertua saya, juga ada sepupu saya yg berprofesi sebagai dokter. Ketika sampai kepada pembahasan pemilihan pengobatan, suami saya menyampaikan keputusan kami berdua. Saya diam mendengarkan semua bergantian bicara. "Papa dan Ibu mendukung apapun keputusan kalian. Termasuk dalam hal dana," kata papa saya singkat, secara terbuka menjanjikan bantuan dana jika kami membutuhkan. "Ayah mendukung apapun keputusan kalian berdua," ayah mertua saya pun bicara. "Tapi... kalau Nada sampai bangun dan cacat gimana?" perlahan suara ibu mertua saya terdengar. "Pertimbangkan baik2 dulu dek, kalau sampai karena mengambil pengobatan maksimal lalu Nada bangun dari koma, tapi tergantung alat seumur hidup, kasihan Nada..." terdengar suara sepupu saya memberikan pertimbangan medisnya. Suami saya terdiam. Dengan suara tercekat saya kemudian mengambil alih pembicaraan, hal yg jarang saya lakukan di depan mertua. "Neni nggak tau apakah Nada akan bangun atau nggak. Tapi yg Neni tau, kita wajib ikhtiar maksimal. Secara dana, kita mampu, apalagi papa bilang akan mendukung dana jika nanti perlu. Jika ambil pengobatan minimal, maka Neni anggap ikhtiar kita belum maksimal. Lain hal jika kita nggak mampu secara biaya, maka perawatan minimal itu sudah merupakan ikhtiar maksimal utk kita. Seandainya kita mengambil perawatan minimal, lalu Nada meninggal, Neni akan selalu bertanya2 bagaimana kalau ambil maksimal? Mungkin akan ada rasa bersalah. Jadi, Neni dan Fahly mau ambil perawatan maksimal utk memenuhi kewajiban ikhtiar. Hanya itu. Neni nggak tau apakah Neni siap mengurus anak cacat seumur hidup jika Nada sadar. Neni serahkan itu pada Allah. Jika menurut Allah Neni sanggup, maka Nada akan sadar. Jika memang menurut Allah Neni nggak sanggup, maka Nada akan pergi. Setidaknya, jika Nada harus meninggal, biar Allah yg mengambilnya, jangan karena kami hanya karena nggak mau Nada berakhir cacat sehingga nggak mau ikhtiar maksimal." Hening. Ayah mertua saya angkat bicara... "Ayah setuju." Singkat, padat, penuh makna, menutup diskusi. Qadarullah, Nada Salsabila Hafizah berpulang ke pangkuan-Nya di hari keempat di ICU tanpa pernah sadar kembali, di hari Jumat pagi, 17 Maret 2006. Meninggalkan saya dengan banyak pelajaran dan hikmah yg bisa saya ambil dari pengalaman ini... Innalilahi wa inna ilaihi raaji'uun, Laa hawlaa walaa quwwata illaa billah Jakarta, 20 Oktober 2020 Ketika rasa rindu mendadak menyeruak... Yeni Suryasusanti Catatan : 1. Jika anak punya riwayat kejang atau secara genetis orangtuanya pernah kejang, pesan dr. Ferdi Harahap kepada saya utk berjaga2 maka suhu 37,2 sudah harus masuk paracetamol, jika 38,5 maka sudah harus masuk ibupr ofen. Sedia proris yg dimasukkan lewat anus lebih baik, simpan di kulkas. Maka, informasi menjadi pembeda. 2. Saat di rawat di ICU, biasanya keluarga pasien akan dipanggil utk menebus resep. Saya sempat bertanya mengapa harus begini secara kan RS punya apotik dan jaringan detailer obat. Menurut suami, RS memberi kesempatan pada keluarga utk mencari obat yg mungkin lebih murah daripada harga yg ditetapkan RS. Tapi, deg2an dipanggil dan kekalutan jika pas obatnya kosong di apotik menurut saya akan memicu stress bahkan kecelakaan. Saya ingin menghabiskan waktu bersama Nada dengan tenang, tanpa khawatir suami saya kenapa2 di jalan. Jadi berpegang pada prinsip pemahaman akan keuangan, saya mendatangi meja perawat ICU, dan meminta rumah sakit saja yg menyediakan semua obatnya. "Panggil kami jika hanya terkait kondisi Nada," pinta saya. Suster ICU bilang tidak bisa, tapi sebagai orang keuangan saya paham dimana inti permasalahannya maka ditetapkan SOP demikian oleh RS. "Jika saya meletakkan deposit dana apakah bisa?" tembak saya. Suster melakukan konfirmasi ke bagian administrasi, dan ternyata diperkenankan. Saya menaruh deposit 2 kali selama Nada di ICU. Maka sekali lagi, ilmu menjadi pembeda. 3. Tentang kejang demam yg menurun secara genetis, bisa baca disini : https://www.ayahbunda.co.id/Balita-Tanya-Jawab/Kejang-Demam-Penyakit-Menurun

Đọc thêm
 profile icon
Viết phản hồi
 profile icon
Viết phản hồi