bagaimana menghadapi omongan negatif dari orang dekat?
#KarenaBundaBerharga Seringkali omongan negatif itu datang dari orang luar, bisa tetangga, teman, atau bahkan orang yang kita tdk kenal. Lalu bagaimana menyikapi omongan negatif yg datang dari orang terdekat kita sendiri? Sejak anak pertama usia 1 tahun, saya mengandung anak kedua. Padahal ketika itu saya sedang asik2nya mengasuh anak. Sebenarnya saya pribadi merasa blm siap dg hadirnya anak lagi. Tapi karena sudah terjadi, ya diterima kehamilan itu dengan ikhlas dan bahagia. Ketika saya dan suami mengumumkan kehamilan kedua saya kepada ibu saya, ternyata responnya sangat buruk. Padahal ketika itu saya butuh sekali support. Ibu saya malah menyalahkan kenapa saya hamil, pdhl anak pertama baru 1 thn. Dan mulai omongan negatif dilontarkan utk saya dan anak pertama saya. Mereka (orang tua dan kakak2 saya) mengatakan kpd anak saya bahwa nanti dia tdk disayang lagi lho, krn sudah mau ada adik bayi. Ahhh rasanya sedih sekali. Dan sejak itu, saya menjadi sangat emosional, termasuk kpd anak saya yg masih kecil. Saya jadi sering memarahinya, pdhl sebelumnya saya tdk pernah memarahinya sama sekali. Sampai anak kedua saya lahir, keluarga saya (org tua dan kakak) spt tidak senang. Mungkin menurut mereka, saya akan tambah merepotkan mereka, apalagi jika anak saya bertambah. Kebetulan kami masih tinggal di rumah org tua saya. Kondisi emosi dan psikologis saya spt makin buruk. Walaupun dilihat dari luar wajar2 saja. Sayapun tetap bisa bekerja dan melakukan aktivitas spt biasa. Tapi suami saya yg paling merasakan ada yg tdk beres dlm diri saya. Saya seperti mengalami tekanan batin. Tapi tidak bisa meluapkan emosi saya kemana dan bagaimana caranya. Kebetulan suami saya punya teman seorang ibu paruh baya, yg sangat sholih dan sangat lembut. Ilmu agamanya sangat baik, karena dibesarkan dari keluarga yg memiliki pondok pesantren. Ilmu parentingnya juga luar biasa. Karena beliau memiliki banyak pengalaman hidup yg sangat luar biasa juga. Suami mengenalkanku dengan temannya itu. Kita biasa memanggilnya 'Ummah'. Singkat cerita, saya banyak belajar dari pengalaman hidup Ummah. Ummah tdk memaksa atau menggurui saya untuk melakukan ini dan itu. Dia hanya bercerita tentang dirinya. Sayapun tidak banyak bercerita tentang apa yg terjadi pada diri saya. Kami langsung seperti terikat hatinya karena Allah. Apapun, ia sampaikan, harus kita lakukan hanya karena Allah. Bahkan saat mencuci piring saja, kita harus niatkan karena Allah, dan memohon kepada Allah supaya hati kita senantiasa dibersihkan oleh Allah seperti ketika sedang membersihkan piring yg sdg kita cuci itu. Aahhh damai sekali bukan? Alhamdulillah sejak saat itu saya semakin banyak berfikir baik, lebih ikhlas, dan lebih mendekatkan diri kpd Allah.